Kamis, Maret 1

Secangkir Coklat Hangat

Ada denting antara genting kamar dan gerimis yang samar-samar terdengar sore ini, menemaniku menyelesaikan pekerjaan kantor yang terpaksa harus kubawa ke rumah karena deadline. Pekerjaan yang sebelumnya tak terbayangkan olehku, pekerjaan yang tak ada hubungannya dengan empat tahunku jatuh bangun mengejar sarjana, dan pekerjaan yang (jujur) aku sendiri masih belum tahu bisa menikmatinya ataupun tidak. Tapi kamarku, tiba-tiba menjadi cerah oleh senyuman perempuan dengan secangkir coklat hangatnya, setelah ketukan pintu lembut khasnya yang sembarangan aku jawab dengan kata ‘masuk’.

“Eh, Mama. Kenapa Ma?”
“Gpp, ini mama bawain coklat?”
“Wuih, asyik. Makasih ya, Ma.” Aku masih meniup-niup coklat yang panas 
“Iya. Masih belum beres ya kerjaannya?” Mama bertanya dengan senyumnya
“Masih banyak banget nih, Ma. Oh ya Ma, aku boleh tanya-tanya?” Tiba-tiba ada ide untuk mengobrol sejenak dengan mama, menghilangkan penat. Mama mulai duduk di tempat tidurku.
“Boleh, mau tanya apa emang?”    

“Ma, emang salah ya, kalau misalkan kita kerja enggak sesuai dengan bidang yang kita dalami ketika kuliah?”

"Mama juga dulu kuliahnya di jurusan apa, sekarang kerjanya di bidang apa. Enggak nyambung. Tapi kalau memang itu adalah sebuah kesalahan, mama minta maaf atas kesalahan yang mama buat. Yang pasti, sekarang mama bahagia dengan pilihan mama, menikmati apa yang mama kerjakan, dan seneng karena pekerjaan mama bisa memberikan banyak manfaat ke orang lain. Dan buat mama, itu sudah lebih dari sekedar cukup. Dulu emang suka kesel sih, kalau ada yang nyindir kok kerjaan mama enggak sesuai dengan bidangnya sih, kok begini sih, kok begitu sih.”

“Terus, dulu cara menghadapinya gimana, Ma?”

“Dengan menerima, Sayang. Bukan dengan mencari pembenaran dengan banyak alasan. Menerima kalau apa yang mereka katakan ada benarnya. Benar juga kan, ngapain mendalami suatu ilmu bertahun-tahun, tapi setelah lulus ilmunya enggak digunakan. Menerima kalau Mama juga ada salahnya. Masa, bertahun-tahun enggak bisa suka juga dengan apa yang mama pelajari. Menerima kalau Allah selalu punya rencana dan ketetapan yang terbaik akan kehidupan kita. Walaupun kadangkala ketetapan itu adalah apa yang bukan kita inginkan dan kita rencanakan. Menerima bahwa ternyata; kebahagiaan, ketentraman, ketenangan hati, jauh lebih berharga dari sekedar kesesuaian antara pekerjaan dan jurusan ketika kuliah, apalagi dari sekedar sindiran orang lain.”

“Hmmm, iya juga ya Ma, ngapain kita harus pusing dengan kata-katanya orang lain, padahal kita yang merasakan, kita juga yang menjalankan. Toh rezeki masing-masing kan sudah diatur ya, Ma.”

“Iya,  dan rezeki itu, bukan apa yang bisa kita nikmati secara fisik aja, Sayang. Bukan juga sekedar tentang penghasilan atau pendapatan. Buat mama, tubuh yang sehat, ilmu yang bermanfaat, punya suami yang memperlakukan mama dengan baik seperti papamu, punya anak secantik dan semenyenangkan kamu, adalah rezeki yang sangat luar biasa.” Aku tersenyum geli, bukan karena kata-kata mama, tapi karena tangan mama yang sudah menarik gemas kedua pipiku, aku segera menyelamatkan diri dengan menjauhkan mukaku dari jangkauan mama.

“Bisa aja kita kerja di perusahaan yang besar, dengan gaji yang besar juga, tapi kalau misalkan pekerjaan itu enggak kita nikmati, terus materi yng kita kumpulkan itu enggak bermanfaat kecuali untuk diri kita sendiri, bahkan materi itu malah semakin menjauhkan kita dengan Allah, bisa dikatakan rezeki kita itu sangat sedikit. Karena sejatinya, rezeki itu adalah sesuatu yang membuat kita semakin bersyukur dan semakin dekat sama Allah.”

“Idih, jawaban mama soleh banget, berasa pengajian nih. Siap, ustadzah.” Baru saja aku mau hormat, mama sudah melemparku dengan bantal. Lalu seperti biasa, kami saling tertawa. Selalu menyenangkan bercanda dengan mama.

“Lanjut lagi dong pengajiannya, Ma. Lagi butuh banyak petuah nih.” Aku tersenyum masih menggoda mama, mama udah males menanggapi sepertinya.

"Mama cerita aja deh. Dulu ya, di zaman rasul itu ada seorang kembang desa yang menikah dengan orang yang tampangnya biasa-biasa saja, pendek, gendut lagi. Suatu ketika, setelah pulang kerja, suaminya tak henti-henti memuji isterinya yang makin hari makin cantik saja. Ah, tentu saja, isteri yang baik akan selalu berusaha tampil secantik mungkin di hadapan suaminya. Menyambut suaminya dengan senyum dan perilaku terbaik sepulang kerja. Tiba-tiba isterinya itu bilang, kalau mereka adalah calon penghuni syurga. Suaminya itu masih bingung, kok bisa? Isterinya berbaik hati menjelaskan; imbalan orang yang bersyukur dan bersabar adalah syurga. Sementara, suaminya sudah bersyukur diberikan isteri seperti dirinya. Dan diapun sudah sangat bersabar diberikan suami seperti itu"

"Ha.. ha.. ha... " kali ini aku ngakak denger ceritanya Mama

"Eh, ketawanya enggak boleh berlebihan gitu, ah." mama mengingatkan, seperti biasa dengan nada dan ekspresi marah sayangnya.

"Habisnya lucu banget sih Ma, Ha.. ha..." aku masih bicara sambil menahan tawa

"Ih, inti ceritanya kan bukan tentang lucunya. Tapi tentang bagaimana kedua orang itu menghadapi rezeki yang Allah berikan kepada mereka, yang satu bersyukur diberikan isteri yang sebegitu cantiknya. Yang satunya lagi bersabar untuk menerima apa yang sudah Allah tetapkan untuknya. Dan rasa syukur dan sabar itu yang membuat mereka hidup berbahagia. Nah, begitulah seharusnya kita melihat rezeki, Sayang. Bukan tentang seberapa banyak yang kita dapatkan. Tapi tentang seberapa banyak yang kita syukuri, tentang seberapa besar penerimaan kita atas apa yang Allah beri, juga tentang sejauh mana hati kita merasa cukup.”

Seketika tawaku benar-benar berhenti. Agak canggung mengangkat secangkir coklat hangat yang tinggal setengahnya. Malu. Begitu banyak yang sudah Allah beri, tapi hatiku tak kunjung merasa cukup. Betapa banyak hal yang tidak aku minta, tapi Allah memberiku begitu saja. Dan aku sering sekali tak menyadarinya. Seperti secangkir coklat hangat ini misalnya, atau perempuan luar biasa yang sedang tersenyum manis di hadapanku ini. Mungkin mama memang benar, kalau ternyata, Allah jauh lebih sayang sama kita daripada diri kita sendiri.

by: Nazrul Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar