Sabtu, Maret 17

Menata Hati

Siapa yang sudah menyadari; jika titik gelap adalah tempat terbaik untuk melihat bintang? Aku sudah, walaupun amat sangat terlambat. Sebelumnya, gelap mendorongku menghasilkan keluh yang berkali lipat, memberikan celah kepada iri untuk membajak sebagian perasaan, ketika menyaksikan titik terang orang lain. Padahal, sebagaimana bintang, manusia memiliki sinarnya masing-masing. Sebagaimana bintang yang hanya bermunculan di malam hari, manusia juga tidak bisa bersinar setiap saat. Semua ada waktunya, semua harus bersabar untuk menanti gilirannya.

Kegelapan juga menghantarkan pikiranku ke beberapa tanya; kenapa hal ini menimpa aku, kenapa penderitaan ini harus aku lalui, kenapa begini dan begitu yang lainnya. Aku sempat mencari jawabannya kemana-mana, tanpa sadar bahwa sebagian jawaban sudah aku punya di dalam hati, yang belum aku punya adalah keberanian untuk meyakininya.

Dan kamu, datang di saat yang tepat. Saat dimana gelap menyelimuti hidupku. Kamu ada saat aku butuh, kamu mendekat saat yang lain menjauh. Kamu bertahan dengan ketidaksabaranku, dikala yang lain berguguran satu-satu. Ah kamu, laki-laki biasa yang tidak aku perhitungkan sebelumnya, pria sederhana yang menjelma menjadi sahabat terbaikku, sampai akhirnya, aku masih ingat momen itu, pada suatu magrib, saat kamu seperti anak SD yang minta izin kepada gurunya untuk pergi ke belakang. Bukan untuk kepentingan membuang hajat, tapi untuk sembahyang. Dan kebetulan, siklus perempuan sedang tidak memperbolehkanku untuk sembahyang.

"Kapan ya, aku bisa sholat berdua-duan dengan seorang imam? Hanya berdua saja." tanyaku iseng, setelah kamu kembali

"Kalau kamu tidak keberatan, aku bersedia jadi imam kamu." aku cuma bisa bengong, tak mengira kamu menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Beberapa detik kita saling diam. Kamu mengangguk meyakinkanku sekali lagi. Aku ikut mengangguk. Lalu, kita saling melempar senyum. Entah untuk siapa, karena seketika rasa malu melemparkan pandangan kita ke sudut lain.

Dan di titik itulah, ada yang menyentak kesadaranku, bahwa kamu adalah bintang yang dikirim Tuhan, yang baru aku sadari sinarnya ketika aku berada di dalam gelap. Dan setelah itu yang kuingat ketika gelap; saat ujian datang beruntun, ketika sesekali musibah menghampiri, bukan lagi keluh kesah, bukan juga ketidakberdayaan yang melumpuhkan. Tapi kasih sayang dari orang-orang di sekitar, dan betapa beruntungnya aku memiliki mereka; bintang yang menyinari aku, serta meyakinkan bahwa segelap dan sepekat apapun malam, akan datang matahari yang menjemput pagi.

***

Dan kebersamaan kitapun dimulai. Sepasang manusia yang dengan keterbatasannya telah menyepakati untuk tidak menjadi pasangan yang sempurna, untuk saling mengerti walaupun sedang tak sehati. Kamu pernah bilang, kalau tidak ada pasangan yang sempurna, yang ada hanyalah sepasang manusia yang berusaha untuk menerima kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan betapa terharunya aku, ketika kamu memintaku untuk menerima kekuranganmu, sebagaimana kamu juga telah menerima kekuranganku. Sedikit kujelaskan kenapa aku amat terharu. Aku mengerti itu bukan sesuatu yang mudah untukmu, karena pada dasarnya, laki-laki punya ego yang tinggi, dan jarang sekali mau mengakui kekurangannya, cenderung lebih ingin terlihat dominan, terlihat lebih baik, apalagi di hadapan perempuan. Sedang aku, bersama kaum hawa yang lainnya, punya perasaan yang jauh lebih dominan.

Aku tuh sebenernya keras kepala. Susah buat menerima sesuatu yang baru. Walaupun itu sebuah kebenaran. Tapi lagi-lagi kamu sudah mengerti itu. Juga mengerti kalau manusia lebih mudah menerima kebaikan daripada kebenaran. Dan kamu banyak memberikan aku kebaikan, sehingga manusia keras kepala ini bisa lebih mudah menerima kebenaran. Juga bisa memahami, kalau sebuah kebenaran akan lebih mudah diterima jika dibungkus dengan banyak kebaikan.

Hari ini, aku kembali menyadari, bahwa titik gelap, adalah tempat terbaik untuk melihat bintang. Setelah cukup lama aku berdiri disini, di samping sepetak tanah yang bernama pusara, beserta namamu yang tercetak pada nisannya.



bersambung...Nazrul Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar