Senin, Februari 27

Kereta

Tak ada yang lebih indah sekaligus berbahaya daripada dunia khayalan. Dunia dimana kita bisa menjadi siapapun yang kita inginkan, dunia dimana kita bisa melakukan apapun yang kita mau. Hanya saja semua itu semu. Dan sore ini aku dihantarkan oleh penatnya pikiran untuk memasukinya, bersamaan dengan senja yang mulai menjingga.

Sedari dulu, aku selalu ingin menikmati apa yang sedang aku lakukan. Tak peduli apakah itu rutinitas ataukah spontanitas. Hanya saja pekerjaanku, yang hampir setiap hari menyita waktu dengan porsi paling banyak dari kegiatan lainnya, tidak termasuk dalam kegiatan yang bisa aku nikmati. Belum bisa mendapatkannya di dunia nyata, akupun tergoda untuk melanglangbuana ke dunia khayalan.

Sayangnya, sebelum aku berkelana lebih dalam lagi ke dunia khayalan, tiba-tiba, seseorang mendekapku halus dari belakang. Membuyarkan lamunanku. Aku tak perlu menengok ke belakang untuk tahu siapa orang itu. Aku sudah tahu sebelum mendengar suaranya. Aku sangat kenal dengan tangan itu, juga dagu yang menempel di pundakku. Dan aku, selalu suka momentum seperti ini. Buatku, tak ada tempat yang lebih nyaman selain dekapan mama.

***

"Lagi mikirin apa sih anak mama yang satu ini, serius amat kayaknya?" mama bertanya dengan nada seolah aku anak kecil saja. Tapi aku selalu suka nada itu.

"Enggak ada kok Ma. Lagi iseng aja."

"Kan mama pernah bilang; enggak harus cerita, tapi enggak boleh bohong. Kalau lagi ada masalah, bilang aja. Kalau enggak mau cerita juga tinggal bilang. Sama mama sendiri ini. Setidaknya mama tahu kalau kamu lagi ada masalah, walaupun kamu enggak mau cerita masalahnya apa. Jadi, mamanya enggak terlalu khawatir."

"Idih, Mama suuzon nih. Kan kata Mama kita enggak boleh suuzon, karena kita enggak pernah tahu pasti apa yang ada di hatinya orang lain." selalu menyenangkan menggoda mama dengan membalikkan kata-katanya.

"Iya deh. Maaf. Kan biasanya kalau kamu banyak diemnya, terus berdiri berlama-lama enggak jelas ngeliatin jalan dari teras lantai atas kayak gini, artinya lagi ada masalah serius bukan?"

"He, he, he... " aku cuma cengengesan, ketangkep basah.
"Mau cerita sama mama?" tanya mama setelah melepas dekapannya, setelah tersenyum manis kepadaku. Aku cuma menagangguk, mengikuti mama yang duduk di kursi teras.

***

"Kenapa?"

"Biasa Ma, masalah kerjaan. Mama kan tahu, kerjaanku sekarang itu cuma batu loncatan untuk mencapai cita-citaku. Aku enggak suka sama kerjaannya. Enggak nyaman juga sama orang-orangnya. Sudah berusaha menikmati segala prosesnya. Sudah melakukan yang terbaik apa yang aku bisa, tapi tetep saja enggak bisa menikmati. Susah. Kayaknya aku mau resign aja deh Ma. Tapi masih belum yakin, sayang aja kalau melewatkan kesempatan yang sudah ada." aku langsung melampiaskan semua apa yang aku rasakan, seperti biasanya mama menjadi pendengar yang baik.

"Oh gitu. Boleh aja kalau mau resign, tapi mau sampai kapan? Seingat Mama, tahun ini saja kamu sudah dua kali ganti-ganti pekerjaan."

"Iya sih Ma, habisnya belum nemu tempat yang cocok sih. Enggak salah kan, kalau aku berusaha mencari yang terbaik, mencari pekerjaan yang bener-bener bisa aku nikmati, bukan hanya pekerjaan yang menghasilkan uang saja?"

"Iya enggak salah juga sih. Tapi buktinya, sekarang kamu masih mencari-cari mana yang terbaik. Mama khawatir aja masalahnya bukan ada di pekerjaannya, tapi ada di kamunya."

"Maksudnya, Ma?"

"Mama jadi inget, dulu, waktu pertama kali mama naik kereta antar kota, yang jaraknya ratusan kilometer, Mama menaiki kereta yang salah. Mama yang baru sadar di tengah perjalanan, langsung kesal sekaligus khawatir. Sama sekali tidak bisa menikmati perjalanan. Seorang Ibu tua yang duduk di samping mama menangkap kegelisahan Mama. Beliau menyapa mama, mengajak ngobrol, dan bertanya kenapa mama nampak gelisah. Mama bilang kalau mama salah naik kereta. Harusnya, mama naik kereta ke arah utara. Tapi mama menaiki kereta yang arahnya ke selatan. Beliau cuma senyum dan bilang, manusia memang bisa salah, tapi Allah tak pernah salah dalam membuat ketetapan atas apa yang terjadi untuk kita, termasuk atas ketetapanNya membuat mama salah naik kereta di pengalaman pertama."

"Katanya lagi, mungkin Allah sengaja membuat mama seperti itu, karena Allah ingin mama melihat dunia lain terlebih dulu, sebelum mama benar-benar menemukan tujuan mama. Akhirnya mama mengerti, dan perjalanan yang salah itu, menjadi salah satu perjalanan yang paling menyenangkan sekaligus berharga dalam kehidupan mama. Mama bisa berkenalan dengan orang baru, bisa menikmati pemandangan dari dalam kereta yang luar biasa indahnya, dan yang paling penting, bisa diberi kesempatan mengerti maksud ketetapan Allah.”

Mama berhenti sejenak, memberikan kesempatan kepadaku untuk mencerna apa yang disampaikannya. Aku yang sedari tadi mendengar dengan sangat khusyu, sudah mulai mengerti arah pembicaraan mama

“Dari situ mama sadar, ternyata menikmati itu pekerjaan hati. Seberapa keraspun tangan kita bekerja, seberapa lelahpun akal kita berfikir, kita tak akan bisa menikmati pekerjaan yang kita lakukan. Karena sekali lagi, menikmati itu adanya di hati. Dan hati enggak bisa dipaksa, Sayang. Hati hanya bisa dikondisikan.”

“Oh, pantesan aku susah banget menikmati, sudah berusaha mati-matian, tetep aja enggak bisa, ternyata salah sasaran toh. Terus gimana dong Ma, caranya mengkondisikan hati, supaya aku bisa menikmati pekerjaanku yang sekarang?” sekali lagi Mama tersenyum manis sebelum menjawab petanyaanku itu

“Dalam hal ini, sebagaimana kita enggak boleh suuzon sama orang lain, kita juga enggak boleh suuzon kepada Allah, karena kita enggak pernah tahu secara pasti apa yang sudah Allah rencanakan buat kehidupan kita. Tapi yang pasti, Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk kehidupan kita. Kita hanya harus menyiapkannya, berusaha dengan sebaik mungkin, disertai doa yang sungguh-sungguh."

"Lalu jika ada keinginan kita tak menjadi nyata, kita hanya harus percaya, kalau Allah lebih tahu mana yang lebih kita butuhkan dari apa yang kita minta. Dan ikhlaskan keinginan yang tak terkabulkan itu agar berubah menjadi pahala. Semoga dengan begitu, perlahan-lahan kamu bisa menikmatinya. Dan hanya orang yang bisa merasakan nikmat Allah lah yang bisa benar-benar bersyukur. Nah, kalau kita sudah bisa bersyukur, sebagaimana yang sudah dijanjikan, Allah juga akan menambah nikmat kita.”

beberapa saat kami saling diam, saling tatap, saling senyum dan saling mengerti tanpa kata lagi. Aku mengangguk berterimakasih. Mama juga mengangguk masih dengan senyumnya.


***

Mama membuatkanku 'rumah' yang sangat nyaman dalam dekapannya. Tapi ia tak pernah memaksaku untuk meninggali rumah yang kusebut dekapan itu selamanya. Ia sangat mengerti, kalau suatu hari akan ada seorang pangeran yang membawa putri kesayangaanya ini pergi meninggalkannya. Hanya saja, akan selalu ada pintu yang terbuka ketika aku ingin pulang kapan saja. Pulang, ke rumah yang ia bangun dengan sedemikian sabarnya. Pulang, ke dekapannya.

by Nazrul Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar