Penari remaja itu langsung menghentikan gerakannya. Menuruti permintaan dewan juri yang memang memintanya berhenti, padahal baru dua menit ia beraksi. Semestinya, semua kontestan diberikan waktu lima menit. Karena merasa gagal, penari itu langsung pulang meninggalkan perlombaan, sekaligus meninggalkan dunia tari yang selama ini disenanginya. Dua puluh tahun kemudian, takdir mempertemukan [mantan] penari itu dengan dewan juri yang dulu menghentikan tariannya, padahal waktunya masih tersisa. Kesal dengan kehidupan yang selama ini dijalaninya, [mantan] penari itupun mengungkapkan kekecewaannya.
"Jujur ya Bu, sampai sekarang saya masih kecewa dengan perlombaan itu, termasuk dengan ibu yang menyuruh saya berhenti di tengah penampilan saya. Padahal, sudah berbulan-bulan saya berlatih untuk mempersiapkan lomba itu. Saya pikir, perlombaan itu akan membawa saya menjadi penari yang hebat. Tapi malah sebaliknya, karena perlombaan itu saya memutuskan untuk berhenti menari."
"Loh, justru saya yang kecewa terhadap kamu. Saya menyuruh kamu berhenti, karena saya sudah tahu kalau kamu itu bagus. Saya tidak perlu berlama-lama untuk menilai kamu. Dan kamu adalah yang terbaik dari semua kontestan. Sayangnya, ketika nama kamu dipanggil untuk babak terakhir, yang saya yakin kamu akan menjadi pemenangnya, kamu sudah tidak ada di tempat."
***
Dan dengan sangat menyesal, harus aku akui, kisah cinta dan persahabatanku pernah mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan penari itu. Untungnya, aku hanya menghabiskan dua bulan dalam kekecewaan. Tidak sampai dua puluh tahun terjebak dalam rasa sesak yang menyakitkan. Waktu itu, aku memang belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Ketika kamu dengan sangat bahagia cerita tentang perempuan pilihanmu. Dan ketika aku tahu bahwa perempuan itu adalah sahabat terbaikku, sahabat yang selama ini menguatkan aku, dan sahabat yang tak mungkin menyakitiku. Tentu saja dia tidak tahu, kalau kamu adalah laki-laki yang sering aku ceritakan kepadanya. Aku bahkan tak pernah menyebut namamu. Dan sahabatku itu juga bukan orang yang mau repot-repot untuk mencampuri urusan orang lain terlalu dalam, termasuk sahabatnya sendiri. Ia hanya terlibat ketika diminta, dan membantu jika dibutuhkan. Jadi, ia memang tak layak untuk disalahkan. Aku juga memutuskan untuk tidak cerita kepadamu. Biarlah semuanya berjalan alami, sampai Tuhan menunjukkan dengan caranya sendiri, jikapun kalian harus sama-sama tahu.
Dan aku? Memilih menjauh dari kehidupan kalian. Sibuk berkutat dengan sesaknya perasaan sendiri. Sampai pada hari ini, akhirnya aku bisa keluar dari jebakan perasaan, yang dua bulan belakangan menyekapku dengan kegelisahan. Ya, hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengan kalian. Tepatnya membuat janji dengan kamu dan perempuan pilihanmu. Hari ini aku ingin berdamai dengan kalian. Ah, bukan. Tepatnya dengan perasaanku sendiri.
Perjalanan hati ini, membuatku lebih menghargai hidup. Menjaga baik-baik apa yang sudah dimiliki. Memberikan pemahaman bahwa seharusnya, kebahagiaan memang tidak semata menjadi tujuan hidup. Toh kebahagiaan itu selalu ada di sekitar kita. Walaupun bukan berasal dari kita, kita tetep bisa merasakannya, jika kita mau membuka hati. Dan kebersamaan, memang selalu menjadi kekuatan dan kenangan tersendiri. Hanya saja, kebersamaan itu tidak selalu denganmu atau dengan kalian. Tapi juga bisa dengannya atau dengan mereka. Mungkin berbeda dalam rasa, tapi tak boleh berbeda dalam apa yang namanya esensi; bahwa hidup akan tetap berjalan di tempat manapun, dengan siapapun, tapi tidak sampai kapanpun.
Hari ini, aku ingin memeluk sahabatku, meminta maaf atas keegoisanku, dan bilang betapa aku bahagia memiliki sahabat sepertinya, betapa aku bahagia atas kebahagiannya yang bisa hidup bersama laki-laki sebaik kamu. Tulus. Karena itulah yang benar-benar aku rasakan. Ah, betapa indahnya menerima. Betapa bebasnya melepaskan. Betapa damainya memaafkan. Betapa leganya ketika kita tak lagi berharap. Betapa mudahnya bahagia, ketika kita sudah tulus untuk berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Dan betapa kurang-ajarnya kalian, karena sudah berpura-pura sedemikian rupa.
***
Adegan berpelukan itu memang ada. Aku memeluk sahabatku, mengatakan apa yang sudah kurencanakan sebelumnya. Kami saling menangis haru. Kamu hanya diam menonton. Adegan berubah seketika, manakala kalian tertawa. Dan aku mulai mencium ketidakberesan menyelimuti kita.
“Aaaaaarggghhh..” aku hanya teriak histeris, langsung mengambil bantal sofa dan memukul-mukulkannya kepada sahabatku sampai puas, sampai dia minta ampun sambil masih tetap tertawa dan bilang kalau kamulah ‘penjahat’ yang sebenarnya. Yang menyuruhnya berpura-pura untuk menjadi perempuan pilihan kamu. Dan dengan seenaknya sahabatku itu bilang, ia setuju demi kebaikan aku. Pandanganku langsung menoleh kepada kamu, meminta pertanggungjawaban atas perasaan yang merasa dipermainkan. Sementara sahabatku, yang baru bebas dari ‘siksaan bantal’ langsung kabur ke belakang. Bukan kabur sebenarnya, ia tak mengganggu.
***
“Maaf.”
“Aku butuh penjelasan, bukan butuh maaf” jawabku datar dan seenaknya kamu tersenyum
"Aku mau ketika nanti kita sudah saling memiliki, kita juga sudah siap untuk saling kehilangan. Karena sebenarnya, kita tak pernah memiliki bukan? Segalanya adalah titipan yang harus dijaga, dipertanggungjawabkan, dan terkadang diambil dengan tiba-tiba. Termasuk kamu, jika Tuhan menitipkan kamu kepadaku dan sebaliknya. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang membebaskan, bukan ikatan yang saling memberatkan apalagi saling mengekang. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang saling menguatkan dan melengkapi, bukan ikatan saling ketergantungan yang membuat satu orang diantara kita jadi lumpuh ketika tak ada yang satunya. Dan untuk itu semua, kita harus siap dan rela untuk kehilangan. Seperti kamu sudah merelakan aku, juga sepertiku dulu aku sempat merelakanmu, ketika kamu belum siap untuk hidup bersamku.”
Perjalanan hati yang belakangan ini aku lalui sangat cukup untuk mengerti penjelasan kamu. Dan jujur, harus aku akui; aku sepakat dengan kamu, dan aku juga berterimakasih kepada kamu. Sayangnya, aku masih malu buat mengakuinya. Nanti-nanti sajalah. Malah, jadi pertanyaan aneh yang keluar dari mulutku.
“Kenapa kamu tidak memilih sahabatku itu saja, dia jauh lebih baik daaripada aku bukan?”
"Jujur ya, sahabatmu itu memang jauh lebih baik daripada kamu. Bahkan mungkin jauh lebih sempurna untuk dijadikan pasangan hidup." Aku tertunduk, itu memang benar. Dan kebenaran lainnya, perempuan manapun tidak suka kekurangannya dibanding-bandingkan dengan kelebihan perempuan lainnya. Termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kamu harus tahu itu.
"Sayangnya, aku menginginkan pasangan yang tepat, bukan pasangan yang sempurna. Dan kamu jauh lebih tepat untuk aku daripada sahabatmu atau yang lainnya. Biarlah kekurangan dan kelebihan kita masing-masing yang nanti akan saling menyempurnakan." aku masih menunduk, lebih dalam kali ini, antara terharu dan menyesal sudah berpikir yang tidak-tidak. Dan seketika, perasaanku kepadamu muncul kembali, perasaan yang sudah kupendam jauh-jauh. Perasaan yang sudah aku buang entah kemana. Perasaan yang tak lagi aku harapkan; rasa cinta yang sama, tapi dengan pemahaman yang baru. Kalau ingin tahu seperti apa, tanya saja pada air mataku yang mulai mengalir.
ByNazrul Anwar
"Jujur ya Bu, sampai sekarang saya masih kecewa dengan perlombaan itu, termasuk dengan ibu yang menyuruh saya berhenti di tengah penampilan saya. Padahal, sudah berbulan-bulan saya berlatih untuk mempersiapkan lomba itu. Saya pikir, perlombaan itu akan membawa saya menjadi penari yang hebat. Tapi malah sebaliknya, karena perlombaan itu saya memutuskan untuk berhenti menari."
"Loh, justru saya yang kecewa terhadap kamu. Saya menyuruh kamu berhenti, karena saya sudah tahu kalau kamu itu bagus. Saya tidak perlu berlama-lama untuk menilai kamu. Dan kamu adalah yang terbaik dari semua kontestan. Sayangnya, ketika nama kamu dipanggil untuk babak terakhir, yang saya yakin kamu akan menjadi pemenangnya, kamu sudah tidak ada di tempat."
***
Dan dengan sangat menyesal, harus aku akui, kisah cinta dan persahabatanku pernah mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan penari itu. Untungnya, aku hanya menghabiskan dua bulan dalam kekecewaan. Tidak sampai dua puluh tahun terjebak dalam rasa sesak yang menyakitkan. Waktu itu, aku memang belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Ketika kamu dengan sangat bahagia cerita tentang perempuan pilihanmu. Dan ketika aku tahu bahwa perempuan itu adalah sahabat terbaikku, sahabat yang selama ini menguatkan aku, dan sahabat yang tak mungkin menyakitiku. Tentu saja dia tidak tahu, kalau kamu adalah laki-laki yang sering aku ceritakan kepadanya. Aku bahkan tak pernah menyebut namamu. Dan sahabatku itu juga bukan orang yang mau repot-repot untuk mencampuri urusan orang lain terlalu dalam, termasuk sahabatnya sendiri. Ia hanya terlibat ketika diminta, dan membantu jika dibutuhkan. Jadi, ia memang tak layak untuk disalahkan. Aku juga memutuskan untuk tidak cerita kepadamu. Biarlah semuanya berjalan alami, sampai Tuhan menunjukkan dengan caranya sendiri, jikapun kalian harus sama-sama tahu.
Dan aku? Memilih menjauh dari kehidupan kalian. Sibuk berkutat dengan sesaknya perasaan sendiri. Sampai pada hari ini, akhirnya aku bisa keluar dari jebakan perasaan, yang dua bulan belakangan menyekapku dengan kegelisahan. Ya, hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengan kalian. Tepatnya membuat janji dengan kamu dan perempuan pilihanmu. Hari ini aku ingin berdamai dengan kalian. Ah, bukan. Tepatnya dengan perasaanku sendiri.
Perjalanan hati ini, membuatku lebih menghargai hidup. Menjaga baik-baik apa yang sudah dimiliki. Memberikan pemahaman bahwa seharusnya, kebahagiaan memang tidak semata menjadi tujuan hidup. Toh kebahagiaan itu selalu ada di sekitar kita. Walaupun bukan berasal dari kita, kita tetep bisa merasakannya, jika kita mau membuka hati. Dan kebersamaan, memang selalu menjadi kekuatan dan kenangan tersendiri. Hanya saja, kebersamaan itu tidak selalu denganmu atau dengan kalian. Tapi juga bisa dengannya atau dengan mereka. Mungkin berbeda dalam rasa, tapi tak boleh berbeda dalam apa yang namanya esensi; bahwa hidup akan tetap berjalan di tempat manapun, dengan siapapun, tapi tidak sampai kapanpun.
Hari ini, aku ingin memeluk sahabatku, meminta maaf atas keegoisanku, dan bilang betapa aku bahagia memiliki sahabat sepertinya, betapa aku bahagia atas kebahagiannya yang bisa hidup bersama laki-laki sebaik kamu. Tulus. Karena itulah yang benar-benar aku rasakan. Ah, betapa indahnya menerima. Betapa bebasnya melepaskan. Betapa damainya memaafkan. Betapa leganya ketika kita tak lagi berharap. Betapa mudahnya bahagia, ketika kita sudah tulus untuk berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Dan betapa kurang-ajarnya kalian, karena sudah berpura-pura sedemikian rupa.
***
Adegan berpelukan itu memang ada. Aku memeluk sahabatku, mengatakan apa yang sudah kurencanakan sebelumnya. Kami saling menangis haru. Kamu hanya diam menonton. Adegan berubah seketika, manakala kalian tertawa. Dan aku mulai mencium ketidakberesan menyelimuti kita.
“Aaaaaarggghhh..” aku hanya teriak histeris, langsung mengambil bantal sofa dan memukul-mukulkannya kepada sahabatku sampai puas, sampai dia minta ampun sambil masih tetap tertawa dan bilang kalau kamulah ‘penjahat’ yang sebenarnya. Yang menyuruhnya berpura-pura untuk menjadi perempuan pilihan kamu. Dan dengan seenaknya sahabatku itu bilang, ia setuju demi kebaikan aku. Pandanganku langsung menoleh kepada kamu, meminta pertanggungjawaban atas perasaan yang merasa dipermainkan. Sementara sahabatku, yang baru bebas dari ‘siksaan bantal’ langsung kabur ke belakang. Bukan kabur sebenarnya, ia tak mengganggu.
***
“Maaf.”
“Aku butuh penjelasan, bukan butuh maaf” jawabku datar dan seenaknya kamu tersenyum
"Aku mau ketika nanti kita sudah saling memiliki, kita juga sudah siap untuk saling kehilangan. Karena sebenarnya, kita tak pernah memiliki bukan? Segalanya adalah titipan yang harus dijaga, dipertanggungjawabkan, dan terkadang diambil dengan tiba-tiba. Termasuk kamu, jika Tuhan menitipkan kamu kepadaku dan sebaliknya. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang membebaskan, bukan ikatan yang saling memberatkan apalagi saling mengekang. Aku mau ikatan kita adalah ikatan yang saling menguatkan dan melengkapi, bukan ikatan saling ketergantungan yang membuat satu orang diantara kita jadi lumpuh ketika tak ada yang satunya. Dan untuk itu semua, kita harus siap dan rela untuk kehilangan. Seperti kamu sudah merelakan aku, juga sepertiku dulu aku sempat merelakanmu, ketika kamu belum siap untuk hidup bersamku.”
Perjalanan hati yang belakangan ini aku lalui sangat cukup untuk mengerti penjelasan kamu. Dan jujur, harus aku akui; aku sepakat dengan kamu, dan aku juga berterimakasih kepada kamu. Sayangnya, aku masih malu buat mengakuinya. Nanti-nanti sajalah. Malah, jadi pertanyaan aneh yang keluar dari mulutku.
“Kenapa kamu tidak memilih sahabatku itu saja, dia jauh lebih baik daaripada aku bukan?”
"Jujur ya, sahabatmu itu memang jauh lebih baik daripada kamu. Bahkan mungkin jauh lebih sempurna untuk dijadikan pasangan hidup." Aku tertunduk, itu memang benar. Dan kebenaran lainnya, perempuan manapun tidak suka kekurangannya dibanding-bandingkan dengan kelebihan perempuan lainnya. Termasuk dengan sahabatnya sendiri. Kamu harus tahu itu.
"Sayangnya, aku menginginkan pasangan yang tepat, bukan pasangan yang sempurna. Dan kamu jauh lebih tepat untuk aku daripada sahabatmu atau yang lainnya. Biarlah kekurangan dan kelebihan kita masing-masing yang nanti akan saling menyempurnakan." aku masih menunduk, lebih dalam kali ini, antara terharu dan menyesal sudah berpikir yang tidak-tidak. Dan seketika, perasaanku kepadamu muncul kembali, perasaan yang sudah kupendam jauh-jauh. Perasaan yang sudah aku buang entah kemana. Perasaan yang tak lagi aku harapkan; rasa cinta yang sama, tapi dengan pemahaman yang baru. Kalau ingin tahu seperti apa, tanya saja pada air mataku yang mulai mengalir.
ByNazrul Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar